Cerita Biasa dari Sinta

"Pak, saya lagi sedih deh" , tiba-tiba ucapku random. Sudah malam, jalanan di suatu komplek di daerah Pejaten sudah sepi lengang. Samar, tapi aku tahu pasti beliau dengar.

"Kenapa, Neng?" , tanyanya sedikit kaget.

"Saya suka seseorang, tapi dia malah balikan sama mantannya. Haha cerita standar sih, Pak, tapi saya sedih aja."

"Hmm.. gitu ya, Neng. Enggak apa-apa, sedih aja Neng, namanya juga perasaan kan.. semoga Neng cepet bahagia lagi ya," jawab Bapak Ojol tulus, terlihat dari raut wajahnya di kaca spion.

Setelah itu kami kembali diam. Bapak Ojol kembali menyetir motor dengan tenang, sesekali bersenandung pelan. Aku kembali melihat kiri kanan, berusaha menikmati jalan pulang.

Dadaku agak nyeri. Sedikit kurang nyaman.

Biasanya, dibonceng jalan pulang terasa lebih menyenangkan karena selalu ada obrolan dengan dia yang tadi aku ceritakan ke Bapak Ojol. Anginnya juga enggak sebegini kencang, karena aku bisa menunduk berlindung di balik punggungnya, sesekali mencuri dekap biar hangat.

---

Hai. Ini cerita tentang aku. Si perempuan yang sedang merasa seperti remaja di novel picisan karena hatinya patah tidak karuan. Aku sudah izin Dianty, yang punya blog, supaya bisa tulis sendiri ceritaku. Katanya, menulis sedikit banyak bisa membantu kita menyalurkan emosi sedih senang, tenang patah, semuanya. Memang kadang manusia satu itu banyak sok tahu nya, tapi toh kucoba juga. Hahaha. Jadi, jangan harap tulisan ini seperti cerpen atau fiksi rapi dia yang lain ya. Karena ya ini aku yang bercerita.

Jangan juga berharap akan ada drama jadi bumbu cerita. Karena enggak ada. Ini cerita patah hati biasa, seperti yang ada kebanyakan. Hidupku juga tidak hancur berantakan, masih normal berjalan.

---

Kita mulai darimana, ya? Aduh, aku enggak pandai bermain kata.. Perkenalan dulu kali, ya?

Aku Sinta. Pegawai swasta ibu kota, sehari-hari sibuk bekerja dari pagi kadang bisa sampai pagi lagi, entah apa yang dikejar, atau mungkin karena tidak ada hal lain yang dikejar jadi ya sudah bekerja saja. Sudah setahun dua tahun ini sendirian, tidak ada pasangan. Hobinya berenang. Halah, hahahaha menulis apa sih aku ini.

Kalau dia yang mau aku ceritakan namanya Rama. Salah satu teman yang bertemu karena pekerjaan. Kalau bertemu dan bercerita ya seputar pekerjaan. Kadang kita makan, atau weekend sekali dua kali keluar mencari hiburan, semuanya bersama teman lain. Begitu saja. Lupa sejak kapan, akhirnya kita suka keluar berdua. Makan, nonton, jalan keliling kota, pergi kondangan, atau ya sesederhana WFH bersama.

Aku yang Si Biasa Melakukan Semuanya Sendiri ini, lama-lama jadi seperti punya teman sehari-hari, terus mulai kebiasaan.. suka meminta tolong itu ini, ditemani kesana kemari, ngobrol ngalor ngidul, bikin rencana bersama banyak hal, dan lain-lain yang sebenarnya biasa saja buat orang kebanyakan... sayangnya, aku bukan orang kebanyakan. Rasanya susah sekali merasa tidak takut untuk terbuka dan membiarkan orang lain masuk ke kehidupan sehari-hari, dan kenal banyak hal tentang aku yang mungkin banyak flawsnya.

Tapi sama dia, aku bisa jadi Sinta yang bukan anak sulung, bukan perempuan serba bisa sendiri, bukan manajer, bukan kaku dan interaksi kalau ada perlunya aja, bukan si selalu punya solusi, bukan yang sempurna kaya di instagram, bukan hal-hal layer luar yang dilihat orang kebanyakan.

Aku, ya jadi Sinta yang sebenarnya takut sendiri, panik di keramaian, gampang kaget dengan suara besar, enggak jago hitungan, payah berlogika, susah tidur sendiri, tangan kirinya lemah, banyak trauma, banyak takut itu ini, sukanya bersandar dan digandeng, dan hal-hal lain yang aku sendiri kadang baru sadar ternyata aku begitu saat bersama dia.

Hahaha, hebat ya. How the presence of someone can reveal the truly me.

Sayangnya, tidak seperti yang aku lakukan ke lawan jenis lain untuk minta dikomunikasikan bila ada maksud lain diluar tujuan pertemanan, dengannya aku terbawa rasa nyaman dan aman, sampai lupa bahwa diri ini bisa saja merasa butuh kehadirannya bukan hanya sebagai teman bekerja, tapi teman lain sehari-hari.

Sayangnya lagi, belum sempat aku berdiskusi apa perasaan ini, dan bagaimana baiknya menyikapi, dia keburu cerita kalau ya balikan dengan mantannya.

To be precise, dia balikan dengan mantan pertama dan satu-satunya, yang sudah pacaran bertahun-tahun, dan putus saat awal kita biasa jalan bersama. Mantan yang katanya, as they grew older, they grew apart. Mantan yang tidak jarang dia sandingkan denganku, "aku seneng deh kamu si selalu bisa ngomong what's in your head, I wish she were like you back then," begitu katanya, dan perbandingan-perbandingan lain yang kini rasanya, ya apa ya tujuannya saat itu?

Duh jangan ditanya rasanya? Aku nangis tiga hari, hahaha. Setelah itu ya sudah, tetap berteman dan berinteraksi pekerjaan lagi. Setelah itu, ya selesai. Tidak ada lagi teman sehari-hari, yang bersamanya aku merasa jadi aku sendiri, tanpa takut itu ini.

Dianty bertanya kenapa engga usaha coba sampaikan saja? Hmm, rasanya ya untuk apa? Toh perasaan dengan mantan, kalau belum selesai dan kembali netral, siapa yang bisa melawan? Ya, kan? Dianty tertawa, aku tahu dia tahu persis rasanya. Hahaha.

Tenang, hidupku enggak berantakan. Duniaku masih berputar. Senyumku masih lebar. Ya biarpun sesekali tidak bisa tahan diri untuk tidak update listening to lagu galau hahahaha. Tapi aku enggak apa-apa.

Hanya saja, rasanya beda. Rasanya, aku bisa tanpa dia, tapi kalau bersama dia pun aku bisa, sangat senang, juga hati tenang.

---

Yeay sekian curahan hati di blog orang ini hahahaha. Terima kasih, Dianty. Sudah membiarkan aku menulis dan meregulasi perasaan aneh ini. Please donot expect anyone happy to read this ya hahahaha.

Hai, Rama. Kalau kamu baca (kayanya enggak sih) dan ada yang kurang sesuai, mohon dimaafkan. Cerita ini dari sisi aku saja, aku enggak sempat dan kayanya engga perlu bertanya bagaimana kamu melihatnya. Eh, kalau kamu bacanya lagi di luar, jangan lupa dikancing jaketnya. Jakarta dingin!


Hal-hal yang Enggak Bisa Aku Kerjakan Sendiri, Atau Bisa tapi Sulit.

Aku enggak bisa nyapu pakai sapu ijuk, jadi aku beli baru sapu cantik.

Aku enggak bisa ganti galon sendiri, berat, tanganku otomatis sakit, apa lagi yang sebelah kiri.

Aku enggak bisa ganti gas sendiri, belum pernah sih, enggak kepikiran caranya.

Aku enggak bisa nyetir mobil, payah sih emang ini, padahal katanya basic skill, tapi ya sudah siapa peduli.

Aku enggak bisa masak lauk, paling mentok telur goreng atau indomi, hehe untung ada online delivery.

Aku enggak bisa bawa Menk ke salon sendiri, Menk suka lari-lari.

Aku enggak bisa kerjain kerjaan semuanya sendiri, ternyata harus mulai belajar delegasi. Tapi bingung, susah percaya juga sama selain diri sendiri.

Aku enggak bisa tidur sendiri, bisa sih, tapi sulit. Nyaman dan mudah lelap kalau ada yang bisa dipegang, yang hangat, yang padanya aku tidak takut itu ini. Bersyukur ada beruang Teddy, dia diam tapi seenggaknya tidak menyakiti, tidak pergi kembali, tidak kesana kemari.

Aku enggak bisa menghangatkan tangan sendiri pas kedinginan nonton di XXI, awalnya aku kira enggak bisanya nonton sendiri, tapi ternyata bisa. Tapi menghangatkan tangan yang beku dingin, sulit, bahkan kadang tetap dingin meski ditaruh di selipan bangku, atau di selipan keti. Aku suka kalau bersama yang hangat, bisa dipinjam semenit dua menit sampai aku ikut hangat lagi.

Aku enggak bisa nyetir motor jauh-jauh, lama-lama. Bisa sih, tapi sulit, harus pelan dan pas jalanan sepi, pun sesekali tangan kiri lepas kendali.

Aku enggak bisa merasa menyusahkan atau tidak tahu diri, minta itu ini. Biasanya, semua semua aku sendiri, semua semua bertanya aku itu ini. Tapi kata seorang teman baik, enggak apa-apa lho cerita, bilang mau itu ini atau mau kesana kesini, enggak apa-apa engga selalu jadi si sulung yang harus bisa semua sendiri dan bantu itu ini. Sulit, tapi ini aku coba lagi.

Aku enggak bisa lupa satu dua memori, tapi enggak apa-apa, things happen and life goes on, bukannya memang hidup ya begini?

Aku enggak bisa enggak menulis, bisa, tapi sulit. Kepala dan hati rasanya penuh sesak berebut teriak sesekali memaki, aku bilang ayo antri, ini satu-satu aku temani. Memang begini sejak kamu enggak di sisi, ricuh, riuh, penuh, haduh... ujungnya kamu lagi, bukan enggak bisa ujungnya bukan kamu, tapi sulit.

Sore di Kemang

 "Hmm.. happy ya, kapan coba terakhir keluar rumah terus duduk di coffeeshop gini?" Ucapku, tersenyum menatap jalan. Sepi.

"Iya, biarpun cuma boleh dine-in 30 menit ya, Kak, haha but I am glad you are happy today."

"Enggak apa-apa lha, let's not take this for granted. We used to have hours spent at the coffeeshop, hanging out with friends, yet we took it for granted. Now this is all we have, so yeah let's enjoy while this last,"

I do mean it. Sudah setahun lebih pandemi hadir dan tinggal, memaksa hidup bersama, membuat kita dan lainnya pisah tanpa jabat dan peluk hangat, bahkan untuk sekadar saling tatap. Jangankan menghabiskan waktu berjam-jam di coffeeshop bersama, untuk bernapas tenang saja rasanya sesak, penuh curiga entah sakit apa yang terbang di udara.

Lupakan saja sudah berjabat sehabis meeting dengan rekan kerja, janji bertemu di tempat makan kesukaan, konser penuh hingar, impulsively flying over the weekend, road trip bersama kesayangan, dan banyak lagi senang lainnya yang ya kini tinggal kenangan, tidak lebih dari hanya bayang di angan. This is all we have now. This is all I have, menghabiskan hari Minggu lagi-lagi dengan adik semata wayang, keluar rumah untuk membeli beberapa belanjaan, mampir sekian menit ke florist dan coffeeshop sekitar, dan kini menyeruput moccacino sambil menatap jalanan Kemang. Jalanan yang biasanya ramai dengan para muda menyambut petang, dan suka lupa diri hingga pagi kembali datang.

Pikiranku jadi semakin melayang. Terbang kesini dan sana. How life forces us to adapt, to spend it only with all that is left for us, baik itu orang sekitar, pekerjaan dan kegiatan, yang semuanya sebagian besar kembali lagi ke dasar. Yang tanpanya, kita benar-benar tidak bisa. Atau mungkin bisa, meski mungkin terpaksa.

Aku menarik napas dalam, belajar memupuk syukur agar semakin banyak. Banyak yang dekat masih diberi sehat, yang butuh masih diberi cukup, yang susah dibantu hingga mudah. Betapa dunia sedang begitu susah, namun aku masih bertahan sampai sekarang. Indeed, we all plan, but He plans best, pikirku tenang.

"Kak, ih, malah ngelamun!" Aku kembali ke tempat setelah disenggolnya.

"Hahaha iya, yuk pulang, biar keburu solat Maghrib di rumah," kulihatnya sudah lebih dulu beranjak, menujur motor yang satu-satunya terparkir di halaman. Kuhabiskan minuman yang tinggal seteguk lalu membuangnya ke tempat sampah, merapikan struk dan lain hal ke dalam tas, bangkit dari tempat, tak lupa membawa bunga yang tadi ku beli sebelum kesini.

Aku berjalan, menoleh pada buket yang kupegang, ada bunga Matahari di sana, cuma satu di antara bunga lainnya, namun cukup buatku senang,

dan lagi-lagi terkenang,

"Ya, ternyata menghadiahi diri sendiri bunga Matahari sudah cukup buatku senang, dulu kukira karena itu selalu darimu... Kamu apa kabar di sana, Ya?" Kukira sudah, ternyata pikiranku masih asyik melayang, enggan pulang.

Kali ini kepadamu, Arya, satu yang dimintaNya pulang saat awal pandemi datang.

Menunggu Pagi

Setelah berbulan hilang, disini lagi kita sekarang, bersampingan membelah jalanan malam kota kembang.

"Makasih ya udah mau jemput, kamu apa kabar?", tanyaku memecah senyap, sedari tadi hanya suara radio samar memutar kumpulan lagu tenang khas tengah malam.

Sebenarnya aku tidak masalah kita diam, sesekali melihatmu dari bangku samping kemudi saja sudah senang. Bukan, ini bukan gombal picisan yang biasa ada di cerita remaja kebanyakan, kamu tau pasti aku memang sejak awal senang melihatmu dari sisi ini, codet di pipi kirimu itu lho, alasannya.

"Iya, sampai Bandung jam segini, mau dijemput siapa lagi? Ke rumah Nina jam segini langsung juga enggak bisa kan?", jawabmu tenang, masih belum beranjak dari menatap jalan.

"Bisa aja sih naik grab langsung ke rumah Nina...,"

"Aku sehat, kamu sehat? Mama sehat?", kamu memotong cepat, seolah jawabanmu sebelumnya belum selesai. "Hmmm, kita nunggu pagi dimana, nih?", sekarang kamu sedikit melambat, sekali melihat aku hangat.

"Aku sehat, mama sehat, orang rumah alhamdulillah semuanya sehat... Hmm, lihat bintang?"

"Ke bukit? Okey, semoga langit cerah, ya.", jawabmu singkat.

Aku cuma mengangguk. Lucu ya, kita. Seperti koneksi yang sudah tahu kata sandinya, begitu jarak jadi dekat, semua tersambung mudah tanpa banyak syarat.

Lalu kita kembali diam. Jidatmu agak berkerut menatap jalan, aku duga karena berusaha menjaga kantuk biar tidak datang.

Terima kasih, ya.. ucapku lagi, kini hanya dalam hati.

Senangnya melihat Bandung versi tengah malam macam ini. Jalannya lengang. Lampu jalan kadang redam. Tidak ada hingar lalu lalang. Kendaraan pun paling satu dua.

Mobil mulai masuk jalan kelok dan menanjak, tanda kita semakin dekat tujuan, Bukit Bintang atau biasa orang sebut Puncak Bintang Bukit Moko, salah satu tempat kesukaanku melihat langit Bandung yang luas, dan kalo sedang beruntung, akan ada banyak bintang.

Aku membuka sedikit kaca jendela, menghirup napas panjang dan dalam, mengumpulkan banyak-banyak udara yang selalu bisa membuat lega. Samar, wangi kayu khas kamu juga masuk terbawa masuk hingga trakea sampai relung paru-paru, cukup dalam hingga membuatku tersenyum tipis. Wangi ini selalu sedikit banyak membuat nyaman, menjadikan tenang.

"Sampai, disini saja ya? Langitnya bagus dari sini," mobil kamu parkir di pinggir jalan satu belokan, belum sampai puncak, tapi sempurna.

Aku mengangguk, lalu keluar dari mobil. Berdiri dan memanjakan mata dengan pemandangan luar biasa indah di depan.

Kalian sudah pernah kesini tengah malam? Kalau belum, sini aku ceritakan suasananya, tidak akan sempurna menggambarkan, namun mungkin cukup membuatmu penasaran dan ingin lihat langsung lain kesempatan.

Bayangkan seolah sedang dipinggir pantai, dengan laut biru tenang yang terhampar luas sekali sampai tidak sanggup mata menjumpai ujungnya, sesekali ombak menghampiri kaki hangat, dan angin berhembus menyapa wajah kita ramah. Seperti itu.

Bedanya, ini bukan laut biru, melainkan bentangan lampu kelap kelip di kota Bandung, yang ujungnya pun sama tidak ada. Ditambah, banyak sekali bintang kecil, mungkin jutaan, bergantian tersenyum dan mengerling, berlomba menyapaku centil. Angin tak hentinya memeluk, sesekali mengecup wajahku dingin.

Aku memejam, pun kembali menarik napas dalam, aaah tenangnya... bisakah disini saja lama-lama?
Aku tersadar saat langkah kakimu mendekat, tanganmu menyentuh pundakku hangat, sepertinya kamu sadar aku mulai agak gemetar karena dinginnya tidak bersahabat.

"You know? I've never found somebody loves city lights and stars as much as you do. Aku enggak pernah paham kenapa kamu sesuka itu lihat bintang, while you are alone a star, even for many, it's just not all can stand your light, you know, including me," ucapmu tetiba sambil menatap kerlap,

...meratap kita.

--- Dianty, July 2021.